Hujan di Penghujung Januari
Selasa, 18 September 2018
2 Comments
Dokumentasi Pibadi |
Semburat
senja tak hadir di sore pada penghujung Januari itu. Sama halnya dengan
matahari yang enggan menampakkan sinarnya sedari siang tadi. Awan hitam yang menyelimuti
hamparan semesta, hujan pun tak mau kalah unjuk diri. Genangan air di jalanan
menambah kemacetan lalu lintas, belum lagi hari itu adalah hari Sabtu di mana
beragam manusia keluar dengan beragam aktivitasnya. Ada yang bergegas pulang
setelah merelakan satu hari weekend-nya
dengan pekerjaan kantor, ada yang masih wara-wiri di seputaran area kampus
dengan jadwal perkuliahan, ada yang sudah atau still on the way menghabiskan weekend,
ada yang terburu-buru mengendarai kendaraannya untuk pulang kampung melepas
rindu dengan anggota keluarga di rumah, ada yang sibuk menjajaki warung-warung
tenda pinggir jalan mencari menu makanan dan minuman yang sesuai dengan lidah
mereka, dan beragam manusia dengan aktivitas lainnya.
Intan,
seorang karyawati di salah satu perusahaan tour
and travel berada di kerumunan manusia yang ada di jalanan itu. Menerobos
hujan dengan sepeda motor orange kesayangannya
menuju salah satu perumahan di kota Bandar Lampung, tempat di mana ia tinggal
saat ini.
Sesuatu
yang tak biasa nampak di pandangan mata Intan saat memasuki gerbang perumahan.
Beberapa orang sedang menurunkan barang-barang di salah satu rumah di blok A,
mungkin ada penduduk baru di perumahan. Seorang laki-laki yang nampak tak asing
berkelebat dibalik kaca helm yang dikenakan. Hanya sekilas ia memandang,
seperti tak asing dan laki-laki itu pun tersenyum padanya, tetapi ia fokus pada
kemudi.
“Ahh,
finally I’m home. Lelah ini, hari
ini, akhir Januari ini, awan hitam di luar sana, ah .... Eh, siapa laki-laki
yang wajahnya nampak dekat diingatanku tadi ya? Ia juga senyum, tapi siapa?” gumam
Intan sembari mengingat kejadian barusan.
Baru
juga ia akan merebahkan tubuh di sofa, pintu rumahnya bergetar karena ketukan
dari seseorang yang datang. Wajah sahabatnya, Winda, muncul dibalik pintu.
“Lho,
Win, kok kamu masih di rumah, bukannya kemarin bilangnya hari ini mau pulang kampung
ke Liwa?”
“It’s been canceled. Ada yang lebih
penting dari gagalnya kepulangan aku hari ini. Kamu masih inget Trion kan?”
Seketika
kening Intan mengernyit tanpa dikomando mendengar nama Trion disebut.
Trion,
satu-satunya laki-laki yang pernah menjadi sahabatnya sekaligus satu-satunya
laki-laki yang mengukir kegetiran di hatinya. Trion adalah sahabat Intan dan
Winda sejak mereka kuliah. Intan adalah seorang gadis yang mudah kenal dengan orang
lain, tetapi ia bukan orang yang mudah menerima orang lain dan membawanya ke
dalam hati. Beruntungnya, Trion adalah satu-satunya laki-laki yang mampu
membuat Intan membuka dan membawanya ke hati, sama seperti ia menerima Winda
dalam hatinya, menerima mereka berdua sebagai sahabat terdekat dan orang yang
begitu ia percayai. Namun kepercayaannya pada Trion hilang bersama dengan hujan
di penghujung Januari, empat tahun silam.
“Trion,
aku tidak melupakannya tapi juga tidak mengingatnya. Ada apa?”
“Dia
ada di sini. Dia nempatin rumah blok A no 1. Baru pindahan siang tadi. Aku baru
tahu sore tadi sepulang dari klinik.”
Kabar
dari Winda makin menohok perasaan Intan.
“Jadi
yang tadi lihatin aku sambil senyum itu Trion.”
“Kamu
tahu Trion pindah ke perum kita? Jadi selama ini kamu udah komunikasi lagi sama
Trion? Kok nggak kasih tahu aku?”
Membisu adalah jawaban Intan, tak ingin
membuat Winda semakin bersemangat menodong dengan ribuan pertanyaan.
***
Minggu
pagi adalah jadwal rutin Intan dan Winda untuk olahraga, biasanya mereka lari
pagi di area GOR dekat perumahan mereka. Rutinitas mereka berlanjut dengan
sarapan lontong sayur bude Jum, lalu pergi ke pasar berbelanja untuk mengisi
kulkas seminggu ke depan.
Seorang
laki-laki sudah menunggu di depan gerbang rumah Intan. Ya, ia adalah Trion,
tetangga baru perum yang kemarin sore menjadi perbincangan Intan dan Winda.
“Halo,
Intan! Halo, Winda! Apa kabar? Perkenalkan, aku Trion tetangga baru di A1.” Trion
memperkenalkan dirinya seolah mereka baru pertama kali bertemu.
“Tetangga
baru, tapi sudah tahu nama kami berdua ya? Ada apa kamu ke sini?” respon Winda
menjawab basa-basi Trion.
“Sebelumnya
aku minta maaf, kalian pasti tahu maaf untuk apa. Tapi aku di sini dengan niat
baik, untuk memperbaiki hubungan kita bertiga,” jelas Trion.
Tak
ada respon sedikit pun dari Intan, lekas ia membuka pintu gerbang dan masuk ke
dalam rumah diikuti Winda dan Trion.
“Aku
tidak tahu apa ini sebuah kebetulan atau bukan, aku pun tidak tahu alasan apa
yang membuatmu pindah ke sini. Aku tak ingin menduga-duga. Tapi, aku ingin tahu
apa alasanmu pagi ini berdiri di depan rumahku, tetangga baru?” Intan membuka
pembicaraan.
“Rupanya
kau masih mengingatku walaupun empat tahun sudah kita tak jumpa.”
“Aku
tidak melupakanmu, tapi juga tak mengingatmu.”
“Kamu
pasti tahu Angga B5, dia adalah rekan kantor ku. Awalnya aku tak tahu kalian
tinggal di perum ini. Aku hanya sedang mencari tempat tinggal baru setelah dimutasi dari Jakarta ke Lampung, lalu Angga menawarkan untuk menempati A1 yang
masih kosong. Seminggu yang lalu, aku melihat Angga memposting foto saat acara
ulang tahun anaknya, dan kamu ada di dalam foto itu menjadi tamu undangan. Kutanyakan
lagi pada Angga, dan ternyata itu memang kamu, Intan. Kamu juga ada di foto itu
Winda. Kalian ada di sana.”
“Lalu?”
Kali ini Winda yang memberi respon.
“Selama
empat tahun berlalu, bukan aku tidak ingat kalian, apalagi kamu, Intan. Bahkan
aku masih dibayangi dengan rasa bersalah. Sampai aku meminta mutasi ke Lampung
dan berniat untuk mencari kalian dan meminta maaf. Apakah kamu mau memaafkanku,
Intan? Juga kamu Winda? Jika ada kesempatan kedua untukku ....” Belum selesai Trion
bicara, Intan langsung memotong pembicaraannya.
“Aku
sudah memaafkanmu, tapi untuk kesempatan kedua aku tidak tahu,” jawab Intan.
“Kalau
saja saat itu aku ...,” ucap Trion memelas.
“Tolong,
jangan membuka luka yang sudah aku tutup. Memaafkanmu adalah hal paling sulit
yang pernah aku upayakan, kalau bukan karena bijaknya nasihat Winda dan ah ...
sudahlah ...! Tapi aku berterima kasih padamu yang telah memberiku pelajaran
berharga, untuk lebih berhati-hati memberikan hati dan kepercayaan pada orang
lain. Aku tidak akan pernah belajar semua itu kalau kamu tak memberi
pengkhianatan juga kekejamanmu dan ayahmu pada kedua orang tuaku.”
“Aku
tahu itu sulit bagimu Intan, apalagi dengan kehilangan orang tua yang menjadi
semangat hidup. Maafkan aku karena aku malah lari darimu saat itu, aku tidak
tahu rasanya sampai kehilangan sosok ibu setahun lalu.”
“Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun,”
kata Winda yang turut berduka cita.
“Aku
turut berduka cita atas meninggalnya ibumu. Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tapi untuk kesempatan kedua, aku tidak tahu. Jika mungkin ada, sulit bagiku untuk bisa
kembali percaya padamu, karena aku tak bisa lagi menaruh rasa percaya pada
siapa pun. Hanya waktu yang mungkin dapat menjawabnya dan sesuatu yang menggerakkan
hati untuk menerimamu kembali,” jelas Intan.
Keduanya
membisu, tak tahu harus apalagi. Bahkan Winda yang sedari tadi lebih banyak
mendengarkan juga ikut terdiam. Mampukah waktu menjadi obat untuk menyembuhkan
luka?
Bandar Lampung,
24 Juli 2018
Penulis : Rismania Susanti
Editor : Irma Dewi Meilinda
Ada nama aku😂
BalasHapusKarakternya sama pula😅
Hhehe iya kah?
Hapus