Berdamai Dengan Ombak
Selasa, 02 Oktober 2018
Add Comment
Dokumentasi Pribadi |
Gemercik suara air
menghempas bebatuan hitam yang berjajar rapi di bibir pantai. Hembusan angin
menerpa dedaunan kering yang telah lepas dari dahannya. Hangatnya sinar mentari
yang kini beranjak pergi dari pandangan mata. Sore itu, gadis kecil berambut
merah juga kulit sawo matangnya duduk termenung dengan tatapan kosong. Hanya
ditemani tas ransel kecil bergambar Barbie
yang penuh dengan tambalan kain itu selalu ada di punggungnya. Berisi alat
tulis yang sudah usang, tumpukan kertas yang tidak lagi terlihat putih dengan
sampul lapuknya. Aisyah, nama gadis kecil dari pinggiran pantai itu.
Ia tinggal bersama
kakeknya yang setiap hari bekerja sebagai nelayan. Gubuk tua yang berdiri tidak
jauh dari pantai itu, telah menjadi saksi bisu kehidupan mereka. Bukan hanya
dingin karena angin pantai, bahkan air hujanpun jua selalu membasahi lantai
tanah mereka. Genteng yang mulai rapuh itu menjadi penutup atap gubuknya,
dinding yang terbuat dari rangkaian bambu juga menjadi pelindung. Sudah hampir
tiga tahun belakangan ini ia tidak lagi mengenyam pendidikan formal, hanya saja
di sela-sela kesibukannya membantu pekerjaan sang kakek, ia selalu luangkan
waktu untuk belajar baik itu membaca, menulis ataupun menghitung. Waktu
bermainnya juga dihabiskan di atas perahu kayu yang setiap harinya menjadi
kendaraan kesukaan Aisyah.
Bongkahan batu besar
yang menjadi tempat duduknya sekarang ini bak kursi busa yang empuk, menjadi tempat ternyaman ketiga
setelah gubuk dan perahu kayu milik kakeknya itu. Ada aktivitas lain yang sudah
ia lakukan sejak berusia lima tahun. Yah! Sejak hari di mana kedua malaikat tak
bersayapnya pergi ke Surga. Kejadian terseretnya kedua orang tua Aisyah oleh
ombak kala itu menyisakan luka di hati. Tepat di batu besar itu jua terakhir
melihat kedua orang tuanya, melihat mereka digulung oleh ombak dan ia hanya
mampu melihat, menangis sambil menjerit tak tahu apa yang harus dilakukan untuk
dapat menyelamatkan ayah dan ibundanya, bahkan jasadnya pun tak jua diketemukan
hingga sekarang ini. Tetapi ia yakin dan selalu merasakan kehadiran kedua orang
tuanya saat berada di sana.
“Ais ..., pulang, Nak!
Hari sudah mulai petang.” Terdengar suara kakek dari balik pohon kelapa yang
kini sedang membenahi peralatan untuk mencari ikan di perahu tuanya.
“Iya, Kek, Ais masih
betah di sini. Nanti Ais pulang sendiri saja,” jawab Aisyah santai sambil
memandangi suguhan Tuhan yang teramat indah di depan matanya.
Mendengar jawaban
cucunya tersebut kakekpun pulang lebih dahulu, tak lupa ia meninggalkan pesan
untuk tidak terlalu larut pulang ke gubuknya. Gadis kecil pinggir pantai ini
memang kurang mengenyam pendidikan seperti halnya anak-anak di luaran sana. Ia
pernah menempuh pendidikan tingkat dasar, hanya selama empat tahun. Biaya
pendidikan yang tidak murah membuat Aisyah terpaksa berhenti sekolah dan memilih
membantu sang kakek mengais rejeki dari mencari ikan. Meskipun hanya empat
tahun, tetapi Ais sudah pandai untuk perihal membaca, menulis dan berhitung.
Bahkan hobi sejak kecilnya ialah membaca dan menulis. Tangan mungilnya itu
berusaha dilatih untuk lihai mengerjakan apapun, termasuk bekerja dan menulis.
Ais bahkan tidak punya
teman sebaya yang bisa diajak bermain. Bukan karena ia tidak dapat berteman
dengan anak-anak lainnya, tetapi karena kegiatan tersebutlah membuat ia bisa menghabiskan
waktu bersama kakek yang menjadi satu-satunya keluarga yang dimiliki. Ais lebih
bersahabat dengan lingkungannya, lingkungan yang telah menjadikan ia pribadi
yang tegar seperti sekarang ini.
Cahaya semakin meredup.
Ais pun membuka tas ransel lalu mengambil secarik kertas dan pensil pendeknya.
Kembali ia merangkai kata demi kata, bercerita dengan kertas yang ada di
tangannya tentang apa yang dialami hari ini. Tak lupa, ia tuliskan harapan dan
doa untuk hari esok ditemani deburan ombak dan hangatnya sinar mentari. Ia dahulu
bahkan sempat merasakan benci terhadap ombak dan suasana pantai yang
menyakitinya itu, tapi berusaha memahami dari berbagai kisah yang dialami
sekarang ini. Takdir Tuhan-lah yang telah memisahkan ia dengan orang tuanya.
Seperti biasanya,
setelah selesai menulis, kertas tadi dibentuk bunga. Jemari kekarnya itu dengan
santai melipat-lipat selembar kertas dan jadilah setangkai bunga. Bukan untuk
hiasan, tapi bunga kertas itu di persembahkan untuk kedua orang tuanya. Selalu
ia letakkan di atas batu yang menjadi tempat terindahnya atau terkadang ia
hanyutkan besama dengan ombak pantai yang selalu menyanyikan lagu indah untuk
penghibur lara dan penatnya melalui hantaman tubuhnya di pasir maupun bebatuan.
“Ombak, sampaikan salam
rindu untuk ayah dan ibundaku. Jika ia tidak lagi melihatku sekarang ini,
katakanlah bahwa aku telah tumbuh menjadi gadis yang akan selalu kuat dan ceria
seperti mereka,” ucapnya lirih sembari memainkan air yang ada di hadapannya
dengan tangannya.
Sembari melepaskan
kertas yang telah dibentuk menjadi bunga tadi, ia pun melanjutkan gumamannya, “Juga
katakan pada ayah dan ibunda bahwa aku bahagia terlahir di keluarga seperti
ini. Ayah dan ibunda yang selalu mengawasiku dari kejauhan, kakek yang selalu
menjadi pahlawan terhebatku, juga ada kau, iya kau ombak. Terima kasih telah
menemaniku setiap harinya, mendengarkan setiap cerita bahkan menampung air
mataku dan aku bahagia karena tak lagi membencimu.”
Ais menjadi pecinta
kata sejak kejadian itu dan ombaklah yang menjadi pembaca setiap apa yang ia
torehkan di kertas kusamnya. Jua senjalah yang selalu setia menemani meskipun
senja selalu beranjak pergi dengan keindahannya. Hari itu pun berakhir dengan
tangis haru juga bahagia untuk kesekian kalinya. Ia mulai melangkahkan kaki,
beranjak dari tempat persinggahannya. Menapaki pasir putih tanpa alas yang
membungkus kakinya itu menuju istana kecil. Di sana ada sang kakek yang selalu
menunggu kepulangan.
Lampung, 25 Juli 2018
Penulis : Siti Munawaroh
Editor : Irma Dewi Meilinda
0 Response to "Berdamai Dengan Ombak"
Posting Komentar