Sahabatku Cintaku
Jumat, 08 Maret 2019
Add Comment
Image from google |
Mentari
mulai menghangatkan bumi, embun sudah membasahi dedaunan pagi ini. Sosok gadis
remaja SMA bertubuh mungil sedang tersenyum sambil menatap ke depan seakan
sedang menyambut indahnya hari ini. Putih Yulia Ananda atau sebut saja ia
Putih, seorang gadis yang memiliki perangai ceria agak kekanak-kanakan namun
pikirannya cukup untuk disebut dewasa dengan segala kekurangan pada dirinya.
Seperti
biasa setiap Senin hingga Sabtu, Putih melangkahkan kakinya menuju perempatan
jalan trans untuk mencari angkutan umum menuju ke SMA Negeri 4 Lampung Selatan,
sudah lebih dari sebulan angkutan umum berwarna kuning langganannya tak
menyusul hingga harus memaksa kakinya berlelah-lelah lagi dari rumah menuju
perempatan jalan trans demi mencari angkutan umum untuk menuju sekolah.
“Akhirnya
.... Ok, sekarang semua tergantung dengan keinginanku. Mau nunggu angkot
kuning, apa cari travel aja ya ke sekolah? Semoga aja ada yang bisa diajak
berangkat bareng,” celoteh Putih bergumam sendiri ketika sampai di perempatan
jalan trans sambil menoleh kiri dan kanan karena hendak menyeberangi jalan.
“Mau
berangkat sekolah ya, Nak?” Tiba-tiba ada seorang bapak tua yang mengagetkannya
dengan sebuah pertanyaan.
“Iya,
Pak,” jawab Putih agak gugup menampilkan deretan giginya sambil membenarkan
kerudungnya yang sebenarnya sudah rapi sejak awal.
Putih
memang sedikit pemalu dengan orang-orang baru, namun kadang malah Putih lah
yang malu-maluin bila sudah kenal
dekat dengan seseorang karena karakternya yang konyol dan agak kekanak-kanakan.
“Sekolah
di mana memang? Kenapa nggak bawa motor sendiri aja?” tanya bapak tua itu
kepada Putih.
“Anu,
Pak, di SMA Negeri 4 Lampung Selatan,” jawab Putih singkat sambil senyum
pepsodent.
“Oh,
sudah SMA ternyata, saya kira kamu masih SMP,” jawab bapak tua itu membuat
Putih sedikit jengkel.
“Saya
nggak bisa bawa motor, Pak. Lagian ngapain bawa-bawa motor ke sekolah? Kan
berat kalau motor dibawa-bawa. Nggak muat juga motornya kalau mau dimasukin di
tas saya. Yang ada, nanti tas saya rusak dong, Pak,” jawab Putih panjang lebar
dengan polosnya.
“Hadeh
..., bukan itu maksudnya!” ujar bapak tua itu kesal dengan kepolosan Putih.
“Nah,
terus apa dong?” ujar Putih malah balik bertanya kepada bapak tua itu.
“Hih,
maksudnya tuh ...!” ujar bapak tua itu terpotong dengan nada kesal.
“Apa,
Pak? Kenapa? Bagaimana? Ada apa? Siapa? Apanya? Dimana? Yang mana?” tanya Putih
beruntun dengan ekspresi watados yang semakin membuat bapak tua itu kesal.
“Aah!
Udah, berangkat sekolah sana!” ujar bapak tua itu kepada Putih.
“Yeah!
Ditanya, kok malah marah? Aneh!” ujar Putih yang ikut kesal.
Putih
yang melihat keadaan jalan yang lengang segera bergegas menyeberangi jalan, tak
berapa lama datang motor matic Mio berwarna Putih dari arah berlawanan
menghampiri Putih.
“Hmm,
kayak kenal itu siapa!” gumam Putih yang memperhatikan orang dengan seragam
sekolah yang sama dengannya kini sudah ada di depannya.
“Yuk,
berangkat sekolah bareng!” ajak orang ini kepada Putih yang masih diam
memperhatikannya.
Orang
itu kemudian membuka helmnya, dan betapa terkejutnya Putih ternyata orang itu
adalah Fajri Putra Fananda murid XII IPS 6.
“Eeh
kamu, tumben ke arah sini? Mau ngapain? Mau ke mana?” tanya Putih beruntun dan
masih tak menyangka itu adalah orang yang selalu ia sebut namanya di atas
sajadah ketika selesai salat. Putih menunduk sambil tersenyum tipis karena tak
mau beradu tatap dengan Fajri yang selalu membuat dirinya salah tingkah.
“Aku
ke sini cuma mau nyusul kamu aja. Mau berangkat sekolah bareng!” jawab Fajri
yang langsung membuat raut wajah Putih ceria dan masih tak menyangka dengan
kalimat yang barusan dilontarkan Fajri padanya.
“Oh,
ok!” ujar Putih, tanpa menunggu lama Putih langsung menaiki motor Fajri, dan
mereka pun melesat kencang menuju sekolah.
‘Ya Allah, mimpi apa aku semalam
sehingga engkau mempertemukan aku dengan pangeran es kutub utara yang selalu
aku sebut dalam doa?!’ batin Putih di atas motor Fajri
yang terus melaju. Posisi Putih dan Fajri amatlah dekat saat ini. Putih
menghirup aroma parfum pada tubuh Fajri dengan sangat dalam, sampai membuat
jantungnya tak dapat berhenti berlari. Tak terasa mereka pun akhirnya sampai di
sekolah.
“Ma
kasih, ya, Jri!” ujar Putih sembari menuruni motor. Fajri hanya mengangguk
sambil tersenyum manis kepada Putih yang kembali membuat jantungnya memburu.
***
Fajri
dan Putih sudah bersahabat dari kelas X, dan sebenarnya Putih sudah memiliki
perasaan kepada Fajri dari awal mereka memulai persahabatan itu. Sampai detik
ini, Fajri belum mengetahui perasaan Putih terhadap dirinya, padahal sebenarnya
Fajri juga memiliki perasaan yang sama kepada Putih tapi karakter Fajri yang
cuek, dingin, dan memiliki ego yang tinggilah yang mampu menutupi perasaan itu.
Sialnya lagi Fajri dan Putih adalah tipe orang yang sama-sama kurang peka
terhadap yang menyangkut tentang perasaan.
Selain
bersahabat dengan Fajri, Putih juga memiliki sahabat lain yaitu Dea Fitriani
siswi kelas XII IPA 4. Dea juga menyimpan perasaan kepada Fajri, ia selalu
menceritakan kekagumannya terhadap Fajri kepada Putih. Putih yang tak mau
persahabatannya hancur cuma gara-gara ego dan perasaan akhirnya hanya bisa
memendam perih ketika mendengar kabar kedekatan Dea dan Fajri yang katanya
semakin hari semakin dekat. Putih selalu nampak seakan semuanya baik-baik saja
ketika mendengar curhatan Dea yang tak jauh-jauh pembicaraannya soal Fajri,
hanya bisa menutupi hatinya yang tersayat dengan candaannya kepada Dea.
Bel
pulang berbunyi, Putih yang sedang melangkah sendirian meninggalkan kelas
tiba-tiba menghentikan langkahnya, lantaran ada yang tiba-tiba menarik
tangannya. Putih yang merasa ditahan oleh seseorang menoleh, ternyata yang
menahan langkahnya adalah Dea. Dea menatap Putih seakan menyuruhnya untuk
mengikuti langkahnya, Putih yang mengerti akhirnya mengikuti langkah Dea yang
ternyata menuju ke arah gudang. Sesampainya di gudang, tiga tamparan tanpa
henti mendarat di pipi manis Putih meninggalkan bekas merah yang sangat jelas.
“Pengkhianat!”
bentak Dea kepada Putih. Putih sudah meneteskan air mata sambil mendengarkan
Dea yang mengoceh tentang kekecewaannya terhadap Putih. Ternyata Dea sudah mengetahui kedekatan Putih
dengan Fajri selama ini. Kejadian tadi pagi pun semakin membuat Dea terbakar
emosi, hinaan demi hinaan terlontar dari bibir Dea kepada Putih yang sekarang
air matanya semakin mengalir deras. Dea menjambak dan mendorong tubuh Putih
yang mungil hingga ia terjatuh dan ... satu tamparan lagi mendarat di pipi
Putih dengan sangat keras namun Putih tak melawan.
“Dasar
jalang! Rasakan ini!” Dea sudah mengepalkan tangan dan hendak mendaratkan
tinjuan ke wajah Putih. Tapi tiba-tiba ada seseorang dari belakang yang menahan
tangan Dea. Dea menoleh, betapa terkejutnya Dea, ternyata yang menahan
tangannya adalah Fajri yang sudah melihat semua kelakuan keji Dea terhadap
Putih. Fajri menatap Dea penuh amarah.
“Fajri,
a-aku bisa jelasin se-semua ini kok,” ucap Dea agak terbata-bata.
“Jelasin
apa lagi?!” bentak Fajri kepada Dea, membuat Dea meneteskan air mata.
“Gue
udah liat semua kejadiannya! Nggak ada yang perlu Lu jelasin ke gua lagi!”
Amarah fajri ikut meledak.
“Aku
sayang sama kamu, Fajri!” teriak dea sambil bercucuran air mata.
“Gue
benci sama Lu!! Dan gua nggak rela, Lu nyakitin orang yang gua cinta!” bentak Fajri
di telinga Dea—membuat mata Dea dan Putih terbelalak tak percaya mendengar
ucapan itu. Bak petir di siang hari, hati dan perasaan Dea seperti
tersayat-sayat oleh ucapan yang dilontarkan Fajri. Dea segera melepaskan
cengkraman tangan Fajri yang masih menahan tangannya agar tak mendaratkan
tinjuan ke wajah Putih. Setelah itu, Dea yang bercucuran air mata menghampiri
Putih dan segera menendang dada Putih dengan kuat, kemudian segera berlari
meninggalkan Fajri dan Putih di gudang sekolah. Fajri geram dan hendak mengejar
Dea, tapi langkahnya terhenti.
“Fa-Fajri
...,” lirih Putih terbata-bata dan sudah terkapar tak sadarkan diri. Fajri yang
panik melihat keadaan Putih segera menggendong Putih ke ruang UKS, untunglah
Fajri dan Putih sama-sama mengikuti ekskul PMR di sekolah ini sehingga Fajri
dapat menangani Putih yang sudah tidak sadarkan diri dengan sangat telaten.
***
Satu
jam lebih telah berlalu namun Putih tak kunjung sadarkan diri, Fajri sudah
sangat khawatir dengan keadaan Putih. Fajri terus menggenggam tangan Putih
dengan erat dan menciumi punggung tangan Putih sambil memejamkan matanya,
berharap Putih segera sadar. Tanpa disadari, bulir air mata Fajri ikut
berjatuhan dan mengenai kulit Putih, membuat Putih tiba-tiba tersadar dan
perlahan mulai membuka mata.
“Fajri,
jangan sedih. Aku baik-baik aja,” ujar Putih tiba-tiba mengagetkan Fajri. Putih
segera menghapus air mata di wajah Fajri dengan tangannya kemudian ia
tersenyum.
“Loh,
kamu udah sadar, Put?” tanya Fajri masih tak percaya sambil membantu mendudukan
Putih diranjang UKS. Putih hanya tersenyum memandangi Fajri, Fajri ikut
tersenyum.
“Ini,
minum dulu,” ujar Fajri menyodorkan segelas teh hangat kepada Putih, Putih
segera menerima dan meneguk sampai habis teh pemberian Fajri. Setelah meneguk
habis teh hangat tersebut, Putih meletakan gelas kosong itu ke nakas.
Tak
sengaja, manik mata Putih bertemu dengan manik mata Fajri, mereka saling beradu
tatap. Keadaan menjadi hening beberapa detik, kemudian Putih tiba-tiba mendapat
pelukan hangat dari Fajri, Putih membalas pelukan itu tak kalah erat, dan ... alarm
berbunyi sangat keras membangunkan Putih dari mimpi indahnya.
“Yah,
ternyata cuma mimpi. Ngapain sih, harus bunyi? Kan kebangun, jadinya.
Ngeselin!” cibir Putih yang kecewa karena semua kejadian indah itu ternyata
hanyalah bunga tidur yang menghiasi mimpinya.
Putih
tersenyum mengingat-ngingat mimpi indah itu, dia merasa lucu dengan dirinya
yang nyatanya sampai saat ini hanya bisa mengagumi Fajri diam-diam dan selalu
menyelipkan nama Fajri di setiap doanya. Putih bergegas mandi kemudian sarapan
dan berangkat sekolah, semua memang hanya terjadi dalam mimpinya yang terlalu
indah. Tapi ia bersyukur sudah pernah memeluk dan mendengar kalimat-kalimat
cinta dari Fajri, meskipun itu hanya di dalam mimpi.
Lampung, 23 Juli 2018
Penulis : Wind
Editor : Irma Dewi
Meilinda
0 Response to "Sahabatku Cintaku"
Posting Komentar