LISENSIA PUITIKA
Minggu, 15 Desember 2019
Add Comment
Lisensia puitika pada umumnya diterjemahkan sebagai kebebasan penyair dalam menulis. Dasar pemahamannya adalah memberikan hak kebebasan bagi penyair untuk tidak menaati aturan-aturan tertentu dalam memanfaatkan bahasa demi mencapai estetika atau tujuan keindahan dan pencapaian makna.
Adapun hal yang menjadi pertanyaan, "Kebebasan yang bagaimana?"
Terdapat 8 (delapan) aspek penyimpangan penulisan puisi atau biasa disebut lisensia puitika, yaitu:
1. Penyimpangan Leksikal
Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam hidup sehari-hari. Penyair memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya atau kata-kata itu disesuaikan dengan tuntutan estetis. Misalnya: mentari, pepintu, keder, ngloyor, leluka, sakal, ngiau, barwah, marwah, dan sebagainya.
2. Penyimpangan Semantis
Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, namun menunjuk pada makna ganda, Makna kata-kata tidak selalu sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak ada kesatuan makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata " sungai" bagi penyair yang berasal dari daerah banjir akan dikonotasikan dengan bencana, sementara para penangkap ikan dan penambang akan menyebutnya sebagai sumber penghidupan. Kata "bulan" dalam puisi Sitor berbeda dengan kata "bulan" dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar.
3. Penyimpangan Fonologis
Untuk kepentingan rima, penyair sering mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam puisi Chairil Anwar "Aku", kata “perih" diganti dengan “peri". Dalam puisi lamanya, kata "menggigil" diganti "menggigir"; kata "melayang" diganti dengan “melayah”, dan sebagainya.
4. Penyimpangan Morfologis
Penyair sering melanggar kaidah morfologis secara sengaja. Dalam puisi-puisi Rendra kita temui istilah: lelawa, mungkret, mangkal, ngangkang, nangis, gerayangi, dan sebagainya, sebagai contoh penyimpangan morfologis.
5. Penyimpangan Sintaksis
Di depan sudah dijelaskan bahwa kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat, tetapi membangun larik-larik. Dapat kita lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan huruf besar untuk permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering pula sulit kita mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kalimat dalam puisi. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
6. Penggunaan Dialek
Penyair ingin mengungkapkan isi hatinya secara tuntas. Pengucapan isi hati dengan bahasa Indonesia dirasa belum mewakili ketuntasan itu. Sebab itu, penyair menggunakan kata-kata menyimpang dari bahasa Indonesia yang bersih dari dialek. Para penyair mutakhir. banyak menggunakan dialek. Misalnya, Darmanto Jt. menggunakan istilah: aduh laelae, tobil, nyemar, madep, manteb, gemati, nastiti, dan sebagainya. Linus Suryadi Ag. menggunakan dialek Jawa: banget, kepradah, andhap asor, biyung, wok kethekur, dan sebagainya.
7. Penggunaan Register
Register adalah ragam bahasa yang digunakan kelompok atau profesi tertentu dalam masyarakat. Register juga disebut dialek profesi. Seringkali dialek profesi ini tidak diketahui secara luas oleh pembaca, apalagi jika register itu diambil dari bahasa daerah. Misalnya di kalangan bangsawan Jawa, anak yang dihasilkan dari hubungan gelap disebut lembu peteng. Ada juga istilah kumpul kebo, procotan, Paman doblang, simbok, den mas, ekaristi, sungkem, bihten, dan sebagainya. Semua itu merupakan contoh register.
8. Penyimpangan Historis
Penyimpangan historis berupa penggunaan kata-kata kuno yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaannya dimaksudkan untuk mempertinggi nilai estetis. Misalnya, kata-kata jenawi, bilur, lebuh, bonda, dewangga, ripuk, lilih, bahana, dan sebagainya. Penggunaan kata-kata yang "dakik- dakik" seperti dalam larik-larik lagu Guruh Sukarno, dalam puisi malahan akan mengurangi nilai estetis puisi tersebut.
Penulis: Ayub Kumalla
0 Response to "LISENSIA PUITIKA"
Posting Komentar